Teratai Dibawah Rembulan
Jangan pernah memilih, karna aku bukan pilihan, setidaknya itulah kata-kata terakhirku padamu.
Jangan pernah memilih, karna aku bukan pilihan, setidaknya itulah kata-kata terakhirku padamu.
“Kalo’ kau ingin pergi, pergilah..!!! aku tak akan melarangmu. Pergilah…,jemputlah impianmu itu. Aku tak mau disalahkan atas kegagalanmu nanti.
ercuma kau harapkan aku, aku tak bisa membuatmu bahagia. Benar apa kata ayahmu, aku hanya seorang pecundang. Pecundang yang terus menjadi penatap langit. Penatap langit yang terus bermimpi kapan bisa menggapai langit dengan tangan yang terkepal. Percuma…,semua percuma. Menangis darah pun tak ada guna.
Romeo end Juliet hanyalah semua roman yang tak bermakna, Mamo end Zen juga tak masuk logika. Semua orang bergelut dengan materi. Materi memberimu hidup dengan layak. Layak menjalani hidup, hidup dihormati dan dihormati semua orang. Bagaimana dengan Cinta…?!!, tak usah lagi kau ungkit soal itu. Aku muak, aku ingin muntah bila mendengar kata itu. Taik kucing…!!!! Soal cinta. Busuknya sama seperti kata-kata yang pernah kau ucapkan padaku. Sudah..!!!, sudah cukup.., aku tak kuat lagi. Aku ingin pergi dari sini. Jangan kau ganggu aku, jangan pernah mengingat diriku lagi. Lupakan aku untuk selamanya. Mengerti…!!!!”.
Surat itu ditutup. Rita pun menangis.
******
Surat itu ditutup. Rita pun menangis.
******
Empat tahun kemudian aku kembali lagi kekota ini. Semua tampak berubah, gedung-gedung yang dulu hanya beberapa lantai kini berubah menjadi pencakar langit. Kota yang dulu kecil, kusam dan tak teratur kini hilang sirna berganti bersih dan mempesona. Taman kota, swalayan yang besar, aliran sungai yang jernih dan juga hotel berbintang mulai merambah ke sebagian pelosok kota menambah semaraknya kota ini diwaktu malam.
“Jambi, apa kabar saudaraku…!!!!” Suaraku lantang memekik diatas sebuah gedung pencakar langit. Hatiku puas. Aku senang, aku bahagia.,aku gembira. Akhrinya aku bisa kembali lagi kekota ini. Kota yang penuh dengan cerita masa lalu. Lalu aku tertawa sendiri bila mengingatnya.
Sebuah bus membawa rombongan kami memasuki kawasan pusat industri minyak bumi diperbatasan kota. Kedatangan kami bukan tak disengaja. Sebuah sumur yang baru saja digali memuncratkan isinya keatas setinggi satu meter . Air,Lumpur bercampur gas yang terus keluar mulai mengenangi rumah warga. Penduduk dalam radius 50m2 dari lokasi harus segera dievakuasi.
Dua hari dua malam tim kami harus bekerja ekstra membuat tanggul penahan lumpur, dan sebagian lagi membuat sumur baru ditepi sungai agar semburannya bisa terbagi. Dan memang terbukti, strategi tersebut manjur mengurangi semburan yang keluar dari sumur yang pertama. Langkah berikutnya, tim bersama-sama akan menutup sumur dengan cara memasukkan bola-bola raksasa kedalam sumur tersebut berharap bisa menghentikan luberan Lumpur yang keluar. Aku yang saat itu bertindak sebagai pengemudi trailer merasa terkejut tiba-tiba mendengar suara gemuruh dildalam perut bumi. Rasanya waktu berjalan begitu lambat saat bongkahan batu sebesar drum menghantam jendela trailer yang aku tunggangi.
“Bbrakkkkkkk….!!!!”
Bola-bola raksasa itu mengantarkan aku kedalam bilik kamar ukuran 2x3m. Rumah sakit Asia Medika Jambi.
Sekujur tubuhku memar luka dan kepalaku bocor. Aku koma, kritis dan hampir meregang nyawa. Alam bawah sadarku membawaku terbang kedimensi abstrak yang tak bermateri, melayang-layang dan menghempaskan aku kemasa lalu yang tak pernah aku ingat sebelumnya.
******
Nuansa rumah panggung dihadapanku ini mengingatkan aku dengan sosok sang kakek. Ya…., aku ingat betul, masa remajaku banyak kuhabiskan disini. Rumah panggung keluarga besar kami.
“Tapi mengapa didalam rumah begitu ramai, ada apa ini” hatiku bertanya-tanya.
Kakiku pun setapak demi setapak melangkah menaiki tangga rumah itu. Setiap wanita setengah baya mengenakan kerudung polos. Yang lelakinya memakai peci. Semua orang memandangku dengan ekspresi belas asih. Aku tak mengerti…, “Ada apa ini….??” Pekik ku sedikit keras.
“ Sabar…ya…Ris…, kita harus relakan dia kembali…” sepupuku merangkulku dari belakang dan mengajakku keruangan tengah.
Dihadapanku tergolek jasad ayahku. Sepupuku bilang beliau mengalami serangan jantung. Aku binggung……???, “Ada apa ini….??, apa yang sedang terjadi disini”. Kepalaku terasa pusing…, tiba-tiba aku jatuh pingsan.
Aku terjaga ketika tangan kecil menyentuh rambut sampai kebagian wajah ku. Rasanya halus,dingin dan tak asing. Wajahnya sedikit pucat dengan kulit kuning langsat. Aku kaget ketika melihat wajahnya.
“Emma…..,kamu kok ada disini” aku kebinggungan.
“ Ini kan kamar Emma Mas …” spontan aku terkejut.
“Bukankah aku tadi……????” aku semakin binggung. Aku bangkit, lalu pergi beranjak kepintu keluar. Suara Emma terdengar samar memanggilku. Aku menoleh kearahnya. Senyuman sumringah tergambar diwajahnya. Aku semakin mempercepat langkahku menuju kepintu utama rumah itu. “Dushhhh…!!!!”
“ Kamu kemana saja Ris.., Ibumu sampai sakit memikirkan kamu..” Rio, pria tegap yang sudah kuanggap sebagai saudaraku sendiri mengajak aku kesalah satu ruangan rumah sakit. Aku turuti saja ajakannya. Didalam hatiku masih bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.
Aku tak bisa berfikir lagi ketika melihat sosok wanita tua diatas ranjang dengan infuse dipergelangan tangannya. Lama aku terpaku seperti patung, merasa tak percaya bahwa wanita itu adalah Ibuku.
Aku peluk dirinya dan menangis sejadi-jadinya, wanita tua dihadapanku kini tak banyak bicara, beliau hanya tersenyum dalam pelukanku dengan tetesan air matanya yang jatuh diatas rambutku. Aku merasa nyaman dalam pelukannya. Aku ingin tidur dalam pelukan ini. Hangat…,nyaman…,dan lepas semua beban yang mengilkat. Aku kembali seperti terbang diawan-awan. Kubebaskan pikiranku untuk sementara waktu.
“ Ma….!!!,Pa…!!, Emma….!!!.., Maafkan aku…..!!!”
Kembali aku melayang seperti burung, dunia nonmateri bermain-main disekitarku. Mataku jeli melihat segala kejadian yang terjadi dalam hidupku. Bermula saat aku lahir….., kelas pertamaku disekolah…., pacar pertamaku saat remaja…., ulang tahunku yang ke 24….,Emma….,dan Rita…..,
“ Ayahku takkan setuju bila kita menikah..”
“ Aku tau…!!!, karna aku tak bisa memberimu masa depan yang jelas, begitu kah..?” Rita terdiam sejenak lalu dengan setengah tenaganya dia mengeluh.
“ Maaf kan aku Ris…., Aku tak bisa berbuat banyak untuk cinta kita...”
“ Sudahlah….,aku mengerti…, lebih baik kamu pulang dan lupakan aku…”
“ Ris…, kamu taukan aku sayang kamu…?” matanya mulai memerah.
“ Ya…Aku tau…!!, Tapi cinta tak bisa memberimu hidup yang layak..”
“ Kalo begitu, tolong carikan hidup yang layak untuk ku, aku akan menunggumu disini, aku janji…” ucap Rita kepadaku sambil memelukku dari belakang.
Aku begitu mencintainya, seperti kerbau yang dicolok hidungnya seluruh hidupku akan kucurahkan untuk dirinya. Aku tak peduli seberapa keras cobaan yang kuhadapi, yang aku tau, dia menungguku…menungguku dan terus mengungguku.
Obsesiku untuk hidup bersama Rita begitu menggebu-gebu, hingga pada saat aku yakin pada posisi yang kuanggap mapan, aku malah kehilangan segalanya. Sebuah telpon dari Palembang yang mengabarkan kematian Ayahku pun tak bisa mencairkan hatiku yang keras. Semua gara-gara Rita. Prosesi pemakamannya aku tak bisa hadir. Emma…, wanita yang begitu tulus mencintaiku, aku sia-siakan. Aku tinggalkan dia ketika ia meminta pertanggungjawaban dariku. Bisik-bisik suara tentang Ibuku yang terkena struk tak menggoyahkan rasa cintaku kepada Rita. Semua gara-gara Rita…, Rita sendiri pun kini pergi dengan laki-laki yang dicintainya. Rita melupakan janjinya padaku.
Kini aku mengerti mengapa aku berada didunia abstrak ini. Terus melayang dan memikirkan semua kesalahan-kesalahanku, memberikan aku sedikit pencerahan dalam hati ini. Betapa Kesempatan Kedua telah diBerikannya Kepada Diriku. Aku seperti bunga Teratai Dibawah Rembulan yang mana ketenangan jiwa telah kuselami ditelaga yang sunyi disaksikan bulan Purnama.
“Oh..Tuhan yang Bijak.., terima kasih atas anugrah yang Kau berikan ini….” Mataku terpejam, sedikit bembaca mantra-mantra agar didengar Sang Dewata yang agung. Aku kembali terbang melewati Langit dan Angin. Aku bertemu ayahku, Ibu ku dan Emma…..
Ku buka mataku secara perlahan, kepalaku terasa pusing dan sakit sekali. Samar-samar kulihat seorang suster sedang menyuntikan obat melalui selang infuse disamping tempat tidurku.
“ Selamat pagi Pak Doris.., Syukurlah anda telah siuman.., saya akan panggilkan dokter untuk memeriksa anda”
“ Emma……!!” pekik ku sedikit keras, suster itu menoleh kearahku dan tersenyum bahagia.
September 2008
“Jambi, apa kabar saudaraku…!!!!” Suaraku lantang memekik diatas sebuah gedung pencakar langit. Hatiku puas. Aku senang, aku bahagia.,aku gembira. Akhrinya aku bisa kembali lagi kekota ini. Kota yang penuh dengan cerita masa lalu. Lalu aku tertawa sendiri bila mengingatnya.
Sebuah bus membawa rombongan kami memasuki kawasan pusat industri minyak bumi diperbatasan kota. Kedatangan kami bukan tak disengaja. Sebuah sumur yang baru saja digali memuncratkan isinya keatas setinggi satu meter . Air,Lumpur bercampur gas yang terus keluar mulai mengenangi rumah warga. Penduduk dalam radius 50m2 dari lokasi harus segera dievakuasi.
Dua hari dua malam tim kami harus bekerja ekstra membuat tanggul penahan lumpur, dan sebagian lagi membuat sumur baru ditepi sungai agar semburannya bisa terbagi. Dan memang terbukti, strategi tersebut manjur mengurangi semburan yang keluar dari sumur yang pertama. Langkah berikutnya, tim bersama-sama akan menutup sumur dengan cara memasukkan bola-bola raksasa kedalam sumur tersebut berharap bisa menghentikan luberan Lumpur yang keluar. Aku yang saat itu bertindak sebagai pengemudi trailer merasa terkejut tiba-tiba mendengar suara gemuruh dildalam perut bumi. Rasanya waktu berjalan begitu lambat saat bongkahan batu sebesar drum menghantam jendela trailer yang aku tunggangi.
“Bbrakkkkkkk….!!!!”
Bola-bola raksasa itu mengantarkan aku kedalam bilik kamar ukuran 2x3m. Rumah sakit Asia Medika Jambi.
Sekujur tubuhku memar luka dan kepalaku bocor. Aku koma, kritis dan hampir meregang nyawa. Alam bawah sadarku membawaku terbang kedimensi abstrak yang tak bermateri, melayang-layang dan menghempaskan aku kemasa lalu yang tak pernah aku ingat sebelumnya.
******
Nuansa rumah panggung dihadapanku ini mengingatkan aku dengan sosok sang kakek. Ya…., aku ingat betul, masa remajaku banyak kuhabiskan disini. Rumah panggung keluarga besar kami.
“Tapi mengapa didalam rumah begitu ramai, ada apa ini” hatiku bertanya-tanya.
Kakiku pun setapak demi setapak melangkah menaiki tangga rumah itu. Setiap wanita setengah baya mengenakan kerudung polos. Yang lelakinya memakai peci. Semua orang memandangku dengan ekspresi belas asih. Aku tak mengerti…, “Ada apa ini….??” Pekik ku sedikit keras.
“ Sabar…ya…Ris…, kita harus relakan dia kembali…” sepupuku merangkulku dari belakang dan mengajakku keruangan tengah.
Dihadapanku tergolek jasad ayahku. Sepupuku bilang beliau mengalami serangan jantung. Aku binggung……???, “Ada apa ini….??, apa yang sedang terjadi disini”. Kepalaku terasa pusing…, tiba-tiba aku jatuh pingsan.
Aku terjaga ketika tangan kecil menyentuh rambut sampai kebagian wajah ku. Rasanya halus,dingin dan tak asing. Wajahnya sedikit pucat dengan kulit kuning langsat. Aku kaget ketika melihat wajahnya.
“Emma…..,kamu kok ada disini” aku kebinggungan.
“ Ini kan kamar Emma Mas …” spontan aku terkejut.
“Bukankah aku tadi……????” aku semakin binggung. Aku bangkit, lalu pergi beranjak kepintu keluar. Suara Emma terdengar samar memanggilku. Aku menoleh kearahnya. Senyuman sumringah tergambar diwajahnya. Aku semakin mempercepat langkahku menuju kepintu utama rumah itu. “Dushhhh…!!!!”
“ Kamu kemana saja Ris.., Ibumu sampai sakit memikirkan kamu..” Rio, pria tegap yang sudah kuanggap sebagai saudaraku sendiri mengajak aku kesalah satu ruangan rumah sakit. Aku turuti saja ajakannya. Didalam hatiku masih bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.
Aku tak bisa berfikir lagi ketika melihat sosok wanita tua diatas ranjang dengan infuse dipergelangan tangannya. Lama aku terpaku seperti patung, merasa tak percaya bahwa wanita itu adalah Ibuku.
Aku peluk dirinya dan menangis sejadi-jadinya, wanita tua dihadapanku kini tak banyak bicara, beliau hanya tersenyum dalam pelukanku dengan tetesan air matanya yang jatuh diatas rambutku. Aku merasa nyaman dalam pelukannya. Aku ingin tidur dalam pelukan ini. Hangat…,nyaman…,dan lepas semua beban yang mengilkat. Aku kembali seperti terbang diawan-awan. Kubebaskan pikiranku untuk sementara waktu.
“ Ma….!!!,Pa…!!, Emma….!!!.., Maafkan aku…..!!!”
Kembali aku melayang seperti burung, dunia nonmateri bermain-main disekitarku. Mataku jeli melihat segala kejadian yang terjadi dalam hidupku. Bermula saat aku lahir….., kelas pertamaku disekolah…., pacar pertamaku saat remaja…., ulang tahunku yang ke 24….,Emma….,dan Rita…..,
“ Ayahku takkan setuju bila kita menikah..”
“ Aku tau…!!!, karna aku tak bisa memberimu masa depan yang jelas, begitu kah..?” Rita terdiam sejenak lalu dengan setengah tenaganya dia mengeluh.
“ Maaf kan aku Ris…., Aku tak bisa berbuat banyak untuk cinta kita...”
“ Sudahlah….,aku mengerti…, lebih baik kamu pulang dan lupakan aku…”
“ Ris…, kamu taukan aku sayang kamu…?” matanya mulai memerah.
“ Ya…Aku tau…!!, Tapi cinta tak bisa memberimu hidup yang layak..”
“ Kalo begitu, tolong carikan hidup yang layak untuk ku, aku akan menunggumu disini, aku janji…” ucap Rita kepadaku sambil memelukku dari belakang.
Aku begitu mencintainya, seperti kerbau yang dicolok hidungnya seluruh hidupku akan kucurahkan untuk dirinya. Aku tak peduli seberapa keras cobaan yang kuhadapi, yang aku tau, dia menungguku…menungguku dan terus mengungguku.
Obsesiku untuk hidup bersama Rita begitu menggebu-gebu, hingga pada saat aku yakin pada posisi yang kuanggap mapan, aku malah kehilangan segalanya. Sebuah telpon dari Palembang yang mengabarkan kematian Ayahku pun tak bisa mencairkan hatiku yang keras. Semua gara-gara Rita. Prosesi pemakamannya aku tak bisa hadir. Emma…, wanita yang begitu tulus mencintaiku, aku sia-siakan. Aku tinggalkan dia ketika ia meminta pertanggungjawaban dariku. Bisik-bisik suara tentang Ibuku yang terkena struk tak menggoyahkan rasa cintaku kepada Rita. Semua gara-gara Rita…, Rita sendiri pun kini pergi dengan laki-laki yang dicintainya. Rita melupakan janjinya padaku.
Kini aku mengerti mengapa aku berada didunia abstrak ini. Terus melayang dan memikirkan semua kesalahan-kesalahanku, memberikan aku sedikit pencerahan dalam hati ini. Betapa Kesempatan Kedua telah diBerikannya Kepada Diriku. Aku seperti bunga Teratai Dibawah Rembulan yang mana ketenangan jiwa telah kuselami ditelaga yang sunyi disaksikan bulan Purnama.
“Oh..Tuhan yang Bijak.., terima kasih atas anugrah yang Kau berikan ini….” Mataku terpejam, sedikit bembaca mantra-mantra agar didengar Sang Dewata yang agung. Aku kembali terbang melewati Langit dan Angin. Aku bertemu ayahku, Ibu ku dan Emma…..
Ku buka mataku secara perlahan, kepalaku terasa pusing dan sakit sekali. Samar-samar kulihat seorang suster sedang menyuntikan obat melalui selang infuse disamping tempat tidurku.
“ Selamat pagi Pak Doris.., Syukurlah anda telah siuman.., saya akan panggilkan dokter untuk memeriksa anda”
“ Emma……!!” pekik ku sedikit keras, suster itu menoleh kearahku dan tersenyum bahagia.
September 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar