Apa yang terbaik bagi kita belum tentu baik di mata Tuhan, dan sebaliknya yang Terbaik di mata Tuhan Belum tentu menjadi pilihan Kita. Ada banyak contoh nyata. Pria jadi wanita,wanita jadi pria,takdir yang tak dikehandaki, dan banyak lagi contoh nyata yang dapat kita lihat dengan mata telanjang. Perlu ada keberanian untuk menembus batas nadir itu. Seperti halnya aku…., tak pernah berfikir untuk hidup dengan keadaan ini. Hari ini dan sampai hari-hari berikutnya yang belum ditentukan, aku memutuskan untuk bersamanya. “Apakah ini adalah tadirku???”
“Ma, aku sudah putuskan, aku akan menikahi dia, tolong restui aku” dengan nada yang tegas tapi pasrah aku akhirnya memberanikan diri berbicara dengan wanita setengah tua itu. Ibuku menatapku dengan mata berkaca-kaca. Ada kegetiran dimatanya.
“Jangan memaksakan diri anakku, jalan mu masih panjang, serakan semua kepada Tuhan. Mama percaya kau pasti bisa melewati ini” rasa lelah menghinggapi raut wajahnya.
“Tidak Ma, aku yakin Tuhan sudah berikan yang terbaik untukku,aku mohon restui aku” aku berberlutut memeluk kakinya yang penuh debu derita. Air mataku jatuh di selah-selah jemari kakinya.
“Mama tak rela jika amarah yang membuat keputusan ini. Jangan siksa Mama Nak!!, Tolong jangan siksa Mama!!” wanita itu memeluk erat tubuhku dan menumpahkan semua derita jiwanya yang telah lama dia pikul. Berat sekali beban itu. Aku tau dari air matanya yang jatuh di pundak ku.
“Mama salah, ini bukan amarah, ini adalah fakta, faktanya aku membutuhkan dia untuk temani aku hidup. Hidupku hampa jika tiada dia di sampingku, Tolong Ma ngerti’in perasaan anakmu ini” isak tangis tak bisa dibendung lagi, dua anak beranak menangis karna takdir yang tak direncanakan.
Wanita itu menghapus air mata dan membulatkan tekatnya. Walau berat dia harus terima keputusan ini.
“Baiklah anakku, jika ini yang kamu pinta, aku akan turuti apa kehendakmu. Tapi dengan satu syarat.., tempatkan Tuhan di dalam hatimu, bisa kau lakukan itu buat Mama??”
Aku tak menjawab, mulutku kaku, otakku bergeser 0,1% , rasanya berat untuk menjawab. Akhirnya aku angguk kan saja kepalaku berharap otakku bisa kembali Normal.
Hari itu adalah hari yang begitu berat dalam sejarah kehidupanku. Memutuskan sesuatu yang tak pernah terfikirkan sebelumnya.
Tapi itulah kehidupan, kita tak pernah tau apa yang terjadi pada hari esok, dengan ujian derajat kita akan di naikan oleh Tuhan. Setidaknya itulah pepatah yang bisa aku simpan dalam memory otakku ketika seorang teman datang untuk membangun kembali jiwaku yang hancur. Aku hanya bisa sedikit tertawa, kalo’ memang demikian mengapa tak naikkan saja aku kedalam Surga atau Nerakanya biar orang-orang disekelilingku tak merasakan dampak yang aku timbulkan terutama Ibuku. Dan sebaliknya dia pun malah mengejekku dengan tertawa lepas, aku tak mengerti maksud tawanya. Makanya aku pun ikut tertawa. Kami berdua tertawa dengan pikiran masing-masing. Aneh bukan ?.
Setiap hari aku menghabiskan waktu dibawah mentari pagi, dan menjadi “Penatap_Langit” sejati, berharap ada malaikat datang menghampiriku dan mengajak aku pergi dari beban berat ini. Dunia memang belum kiamat. Tapi duniaku sebatas 4x6 meter saja. 4 kesamping 6 kedepan dan 6 kebelakang. Aku kehilangan wanita yang aku cintai, semua peluang-peluang, dan kebebasan melangkah. Mataku hanya bisa melihat dari jauh tanpa merasakan udara tanah yang membaur di selah-selah keramaian. Aku takkan terlalu khawatir, karna aku masih punya rasa optimis yang begitu besar kepadaNya dan akan ku curahkan kepada calon pengantinku nanti. Aku ingin mempercepat hari ini. Aku ingin segera memeluk calon pengantinku. Walau aku sedih tapi aku sangat butuh dirinya disampingku.
Perasaanku mulai kacaw, ada banyak bayang-bayang yang mengganggu pikiranku. Kata-kata mengapa ?, berputar-putar didalm otak ku yang mulai lemah, bimbang, getir, malu,tak percaya diri dan semua rasa yang absruk menghinggapi seluruh kerongkongan hatiku. Berapa kali aku berdoa kepadaNya berharap bisa kembali membentuk hatiku ini sehingga menjadi satu kembali dan mendapatkan keyakinan itu. Tapi kapan ?, Entahlah
Semua teman dan keluarga dekat mendukung keputusanku lewat kata-kata “Sabar!!”, sebenarnya aku sudah muak dengan kata itu. Tapi, mau tak mau aku hanya diam, toh, hanya mereka yang aku miliki sekarang. Mereka tak kan mengerti dan tak kan bisa mengerti kekacawan hatiku. Manusia bisa perduli ketika manusia itu merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan. Omong kosong jika mereka perduli karna rasa Iba. Buktinya mereka hanya memuaskan Egonya saja. Mereka tak pernah dapat apa-apa, Nol besar didalam hatinya. Dan aku masih bergelut dangan kata-kata “Sabar”.
Itu masih belum apa-apa, satu orang bodoh menyebut diriku sedikit beruntung, padahal dia tak mengerti kata beruntung itu sandiri seperti apa. Bagaimana mungkin seorang disebut beruntung jika hanya satu tingkat diatas orang lain. Tanyakan pada Dunia, memangnya ada manusia yang ingin rodanya di bawah. Setiap manusia tidak ada yang ingin senasib dengan diriku atau lebih buruk dari aku. Kalo memang demikian dimana letaknya kata-kata beruntung itu!!!. Itu adalah bukti nyata kalo manusia hanya ingin memuaskan egonya saja. Dengan otaknya yang sedikit, pandai betul dia merajut kata-kata agar terdengar menggugah hati yang mendengarnya. Ya, tak ada bedanya dengan diriku yang juga sama bodohnya dengan mereka ,tapi setidaknya argumentku bisa diterima oleh orang yang sama seperti diriku, bukan orang seperti dirinya. Tidak ada yang benar didunia ini semuanya Relatif.
Muak dan kadang ingin mengakhiri hidup dengan menggantung diri atau menengak racun serangga. Rasa itu begitu kuat hingga menggrogoti separuh otak ku, tapi semua itu tak ku lakukan karna aku masih punya rasa bersalah kepada Tuhan. Tuhan sendiri aku tak tau ada dimana. Delapan bulan lebih aku bergelut mencari malaikat namun tak nampak sedikit pun batang hidungnya atau pun bentuk petunjuk yang memadai. Aku mulai lelah, lelah sekali, rasanya dipermainkan oleh takdir.
Takdir sendiri datang memelukku menyerupai virus ganas yang menggrogoti tulang belakangku, sampai-sampai dokter mengangkat kedua tangannya dan mengatakan “Tidak ada obatnya!!”. virus itu menyebabkan aku lumpuh dan hanya menyisahkan seperempat tenaga untuk menopang kaki ku dengan bantuan calon pengantinku pastinya. Apa kuasa manusia atas hendaknya. Ketika Tuhan Menyapa tak ada manusia yang bisa menolak kuasanya.
Sedikit-demi sedikit aku mulai belajar menyatuhkan puing-puing hatiku. Di bantu dengan semangat Ibuku yang memang telah pudar aku terus merajut kembali mimpi-mimpiku. Memang tak mudah. Beberapa kali aku gagal sampai sekarang pun masih tetap gagal. Alasanya klasic, aku tak bisa mengontrol amarahku. Sempat utuh sepertiga dari hatiku namun hancur lagi ketika dua mata manusia melihatku seperti melihat badut atau topeng monyet yang sedang menari-nari di pinggir jalan. Aku benar-benar tak terima hal itu. Dengan nada yang meluap-luap seribu sumpah serapah meluncur dari mulut ku yang memang telah kotor.
“Anjing kalian semua!!!, Memangnya kalian tak pernah melihat orang cacat apa!!!” mataku melotot keluar, aku mempercepat langkahku, nafasku naik turun tak beraturan, emosi menguasai jiwaku dan kembali aku mengurung diri dibalik tembok kamarku. Tangis bercampur amarah, rasa kecewa yang mencabik-cabik,gelora kebencian merasuk jiwa. Tak ada yang tau itu. Hanya aku dan Rasa sakitku. Aku kecewa kepada semua yang ada didunia, terutama kepada Tuhan. Lalu aku tuliskan kata-kata untuk diriku sendiri.
Ketika Hujan Menari
Hujan menari lagi
Aku ingin ikut menari bersamanya
Melepaskan kegundahan hatiku
Menari bersama tetes air dari Langit
Hujan terus menari
Seolah-olah mengejekku dari dalam kamar.
Sepi,sendiri,tak bisa berbuat banyak,
Memambah luka dihati ini
Aku ingin ikut menari bersamanya
Melepaskan kegundahan hatiku
Menari bersama tetes air dari Langit
Hujan terus menari
Seolah-olah mengejekku dari dalam kamar.
Sepi,sendiri,tak bisa berbuat banyak,
Memambah luka dihati ini
“Apa salahku sehingga aku
tak bisa ikut menari bersamanya!!”
Aku lelah, capek, sedih, dan rindu,
Rindu bagaimana rasanya
saat tetes air hujan memelukku
sampai aku basah kuyup
Aku ingat kemarin aku tak pernah
takut membelah hujan!!
Tak pernah menolak ketika ia mengajakku menari
Tapi sekarang, hujan tak peduli lagi kepadaku
Dia hanya bisa mengejekku
dari dalam kamar tanpa peduli
perasaanku yang begiru kesal
menyaksikannya menari
Hujan masih saja terus menari,
Suara gemuruh genting dan tanah menjadi
musik tersendiri baginya
Hujan membuat hatiku bimbang,
Bimbang dan rindu setiap kali hujan datang
“Mungkinkah aku bisa kembali menikmati tariannya ??”
Mataku berkaca-kaca, kali ini semuanya gelap. Lemas seperti pasrah terhadap maut, ku lemparkan pandanganku kesudut pojok kamarku. Ada sesuatu yang mengintai ku disana. Lama ku pandangi dia layaknya aku belum pernah jumpa dia. Calon pengantinku kini telah resmi menjadi pengantinku. Dia berdiri dipojok sana dan tersenyum kepadaku dengan sejuta Spektrum layar pelangi. Kini tak ada lagi kata tanya, selayaknya sepasang pengantin yang tak perlu ada kata dusta. Aku jujur kepadanya dia pun begitu terbuka kepadaku.
“Suamiku,tak perlu resah hadapi Dunia, sabab Langitku yang luas Masih Memiliki Tempat Untukmu Bernafas. You Can Be My Husband!!”
Pengantinku kini bicara padaku dengan senyumnya yang khas. Ku hapus air mata yang tersisa, perlahan ku paksakan tersenyum dan akhirnya terbiasa. Lama mataku memandang pengantinku, seperdelapan dari hatiku kini terbentuk sendiri, kata-kata pengantinku itu seperti membangunkan aku dari mimpi yang amat panjang. Ku pejamkan mata dan menarik nafas panjang, kulepasakan semua beban yang mengikat, ku lepasakan semua rasa yang menjerat. Udara disekitarku seakan menyatuh dengan tubuhku. Rasanya ringan sekali, damai sekali, seperti ingin tidur saja. Lama, lama, sunyi, senyap, merasa sendiri tinggal di Dunia ini. Aku buka mata dan kembali memandang pengantinku. Taukah kau ? Pengantinku ini adalah Sepasang tongkat yang berfungsi untuk menopang berat badanku ketika berjalan. Walaupun benda mati tapi bagiku dia adalah malaikat penyambung langkahku.
Aku berdiri dan Menatap Langit lalu sedikit berguman kepada Sang Alam Semesta.
“Terima kasih Tuhan Atas apa yang kau berikan kepadaku. Walau berat untuk menerima tapi aku tau ada jalan yang indah yang kau janjikan untuk ku”. Hanya itu yang ada di hati ku sekarang.
Aku tersenyum,dan akhirnya tertawa sendiri. Ada perasaan yang menggelitik didalam otak ku. Seperti sudah lama sekali tak tertawa seperti ini. “Bodohnya aku,bodohnya aku!!”, aku kembali tertawa.
4pril09
keren banget yang judlnya ketika hujan menari....
BalasHapusaq ska kta2nya.....
bnr2 trpilih...
jd slma ni pkiranku bnr,km g asal nulis puisi,lbih dr itu......
salut deh...
kpn2 komentarin puisiku y......hehe