Minggu, 07 Juni 2009

Anak Emas Berkarat


Namaku adalah Genu, umurku genap satu tahun tiga bulan dan aku sedang mengerami telor hasil hubunganku dengan seekor ayam jantan tetanggaku sendiri. Jumlah telor yang ku erami sebanyak 13 buah dan salah satu telornya berbeda sendiri, warnanya sedikit hijau, besar dan baunya amis sekali. Aku tak tau mengapa aku bisa menelurkan telor seaneh itu. Menurut primbon ke ayaman angka 13 berarti kesialan, aku tak terlalu ambil pusing, tho..tugas ku hanya mengeraminya sampai 21 hari, kemudian kita liat saja benarkah ada kesialan di dalam keturunanku nanti.
Pagi, siang, sore, malam aku tak pernah beranjak dari telor-telor calon buah hatiku nanti. Setiap mahluk yang mendekati wilayah kekuasaanku, pasti ku caci maki dengan sedikit membringaskan wajahku dan ku kembangkan kedua sayapku. Paruh ku selalu siap mematok apa saja yang membuatku kesal. Semua ketakutan tak terkecuali pemilikku sendiri. Beliau tak brani dekat-dekat ketika harus menaburkan biji-biji beras sebagai makanan favoritku. Ini adalah hari ke delapan aku mengerami buah hatiku tanpa hadirnya suamiku. 
Btw, ngemeng-ngemeng soal suami, jika harus cerita, sebenarnya aku sedih sekali. Tapi jika kau mau mendengarkan, apa salahnya aku cerita sedikit tentang suamiku yang egois’ayamis itu. 
Suamiku yang ku cintai mencapakkan aku tetika ia tau aku menelorkan telor yang tak sewajarnya untuk ukuran habitat kami. Dia menuduhku berselingkuh dengan ayam-ayam jantan lainya. Aku tak bisa berkata banyak, hanya diam ketika dia memaki diriku dengan ucapakan yang tak berperi’kebinatangan itu. Berapa kali aku sudah jelaskan padanya, mungkin ini adalah takdir Neptunus yang sengaja untuk menguji kehidupan kami. Tapi dasar ayam jantan tak punya hati, tali perkawainan kami robek begitu saja dalam tempo waktu yang teramat singkat. Kelang waktu 3 hari setelah dia memaki diriku, ternyata dirinya telah mengawini lagi ayam betina anak ayam tetangga sebelah. Dasar jantan-jantan mata kandangan….!!!, tidak bisa melihat betina yang lebih muda sedikit!! Aku memaki di dalam hati ketika melihat dirinya berjalan berdua dengan ayam betina itu.  
Semua pupuslah sudah, menangis darah pun percuma, tinggalah aku sendiri yang harus merawat anak-anak ku kelak. Tapi tak apalah aku pasrah menghadapi cobaan dari Neptunus ini. Aku percaya Neptunus telah memberikan jalan yang terbaik untuk ku kelak. Sekarang statusku adalah ayam betina tanpa suami, atau yang sering di sebut kaum Manusia Nanda..,, eh salah Janda ding!!. Hehe.. 
Sewaktu aku mengandung buah hatiku ini. Aku tak punya firasat apa-apa tentang buah hatiku yang aneh ini. Semuanya berjalan sebagaimana biasa. Aku tak pernah berselingkuh kepada siapa pun yang seperti di tuduhkan oleh mantan suamiku itu. Dari makanan yang aku makan juga tak ada yang spesial. Semua tentang bulir-bulir beras, cacing dan serbuk tanah.
Dan sewaktu aku bertelor juga tak ada tanda-tanda sakit di selangkanganku. Semua berjalan normal dengan sistem persalinan yang normal juga. Dan seingatku jumlah telor yang keluar dari selangkanganku berjumlah 12 buah, tapi anehnya setelah aku tinggalkan sebentar untuk mencari air minum di aliran got, jumlahnya bertambah satu menjadi 13 buah. Tapi aku tak begitu merasa aneh, atau mungkin aku telah memiliki sifat keIbuan seperti para betina-betina seumuran aku. Sudahlah yang penting aku terima saja telor aneh pemberian dari Neptunus ini, Kata hati ku ketika itu.
Menjelang malam ke 15, ada perasaan aneh menyerumput di relung hatiku. Aku tak tau apa yang akan terjadi. Tapi sudah beberapa malam ini aku tak bisa tidur tenang, mimpi-mimpi buruk selalu menghantui tidurku. Berapa kali aku harus berganti posisi kekanan dan ke kiri tapi masih saja tak enak. Hawa panas yang berasal dari telor aneh itu semakin tak wajar saja. Sempat aku berfikir untuk membuhuh anaku yang aneh ini, tapi tak ku lakukan karna aku merasa kasihan dengan dirinya. Apa pun yang terjadi aku akan tetap mengeraminya sampai menetas nanti.
Hari ke 18, terjawab sudah semua kegelisahan ku.., dari 13 telor yang ku erami, ternyata yang hanya menjadi benih sebanyak 5 buah saja. Aku benar-benar sedih soal itu. Ingin rasanya ku maki Neptunus yang tak merestui buah hati ku menetas dengan sempurna. Saking kesalnya aku pecahkan cangkang telor-telor yang tak sempurna itu. Prasaan ngilu ketika mataku melihat buah hatiku tergeletak tanpa nadi itu. air mataku menetes tak henti ketika itu.
Suara gemeratak di bawah tubuhku,membangunkan aku dari alam abstrak itu. Dengan paruh-paruh yang lemah itu, perlahan buah hatiku melepaskan diri dari himpitan cangkang yang menyesakkan itu. Buah hatiku yang pertama seekor jantan yang tampan sekali. Aku beri di nama ”Getar”. Tak lama kemudian menyusul yang kedua yang tak kala tampannya dengan wajah sang kakak aku beri dia nama “Gelar”. Yang ketiga ternyata seorang betina yang imut, “Getir” namanya. Yang ke empat jantan kembali “Gentar” itulah namanya.
Hampir putus asa aku menunggu penetasan anak ku yang kelima ini. Jaraknya cukup lama, sekitar 6 jam lebih, aku hanya berfikir kemungkinan karna bentuknya agak besar mungkin juga membutuhkan waktu lama untuk melepaskan cangkang yang tebal itu. dan akhirnya suara raungan anak-anak ku mengantarkan si bungsu keluar dari cangkang itu.
Betapa shocknya tetika aku tau wajah anak bungsu ku berbeda sekali dengan wajah anak-anak ku yang lain. Paruhnya sedikit lebar, kuning dan jari kakinya seakan menyambung di antara selah-selah jemari yang lainnya seperti selaput Tentakel pada cumi-cumi. Dengan keanehan itu ku beri nama dia Ben. Walau pun begitu aku tetap sayang kepadanya.
Ben ku yang malang, di mana tempat dia berdiri selalu terkucilkan. Di lingkungan sekitar bahkan di keluarga kecil kami. Semua saudaranya seakan mencibir Ben yang berbeda itu. Ben menghabiskan waktunya sendirian mencari makan dan seakan itu adalah pilihan yang berat untuknya. Aku hanya menyaksikannya dari jauh dengan hati robek tepat di dada ini.
Semakin hari Ben ku yang malang semakin dewasa dan semakin terkucilkan juga. Pernah suatu hari Ben ku sedang asik menikmati serbuk-serbuk tanah di halaman belakang rumah, sekonyong-konyong gerombolan saudara-saudaranya datang dan menghajar Ben habis-habisan sampai babak belur mukanya tak beraturan, dengan alasan Ben telah mengambil daerah kekuasaan mereka. Kepalanya berdarah dan kaki kanannya sempat pincang untuk beberapa hari. Dengan hati terenyuh aku memeluk Ben dengan air mata yang berderai.
Pagi itu…,suara mantan suamiku membangunkan aku dari alam mimpi itu, suaranya di sambut dengan suara ayam-ayam jantan yang lainnya seperti sebuah gema yang bertalu-talu. Hari yang cerah untuk memperkenalkan dunia yang lain kepada anak-anak ku. Sebelum berangkat mencari makanan, semua anak-anakku aku tancapkan sedikit dogma kepadanya dan tak terkecuali Ben yang duduk di pojok pinggir kandang itu.
“Ingat..!!, hari ini kita akan menyelusuri sebuah aliran air yang tergenang di daerah punjak seberang saja. Ibu tidak mau ada yang berkelahi disana, apalagi bermain-main di tepi aliran air yang tergenang itu. Mengerti semuanya..!!!” aku berkata cukup keras kepada anak-anak ku.
Semua mengganguk-angukkan kepala dan kami sekeluarga berangkat menuju dunia yang lebih luas itu. Sepanjang perjalanan Ben seperti biasa tertinggal satu hasta di belakang kami. 5 menit sekali aku harus menoleh kebelakang berharap Ben tak tertinggal jauh dari rombongan kami.
Ketika separuh perjalanan, aku bertemu dengan Elok’ teman seperjuanganku dulu. Dia juga sepertinya sedang mendidik anak-anaknya untuk belajar mandiri sama seperti diriku. Tapi bedanya dia tak mempunyai anak seaneh diriku. Elok’ hanya tersenyum ketika melihat Ben ku yang malang. Dan sedikit menasehatkan aku untuk bersabar saja menghadapi ujian dari Neptunus ini. Perjalanan ini masih berlanjut dengan cibiran kepada Ben dan aku.
Hampir setengah hari perjalanan akhirnya kami sampai juga di perbukitan yang terhampar luas itu. Tinggal menyebrangi aliran air yang tergenang itu dan kami sampai ketujuan itu.
Dengan hati-hati kami sekeluarga melewati jembatan tanah setapak itu. mataku masih jeli mengamati Ben yang masih saja tertinggal di belakang kami. Dan tiba-tiba saja dari arah depan sosok ular sendok menghalangi jalan kami. Dengan matanya yang tajam kemerah-merahan seakan siap menerkam anakku yang pertama Getar yang saat itu berjalan paling depan…,
Getar spontan melompat kebelakangku. Anak-anak ku kini berkumpul di belakang ku semua. Lidah sang ular keluar masuk mengumpulkan bisanya. Belum sempat aku memberikan isarat kepada anak ku untuk berlari, secepat kilat pula patokan ular menyerumput tepat ke arahku. Aku melompat mengelakinya dan tanpa sengaja kaki ku mengenai anak ku yang ke empat Gentar. Gentar pun tersungkur dan terpental masuk kedalam genangan air yang cukup dalam itu. Aku shock melihatnya. Aku tak tau apa yang harus aku lakukan. Kami sekeluarga kocar-kacir di buatnya, semua anak-anak ku berlari sekencang mungkin menjauhi ular tersebut tak terkecuali Ben.
Ular itu masih mengejar kami hingga radius 5 meter. Aku tak tau mungkin Neptunus masih melindungi keluarga kami, dan tiba-tiba saja sekarang sang ular itu masuk kedalam kubangan air yang tergenang itu. kini target sang ular adalah anak ku yang ke empat..Gentar..
Suara Gentar berteriak minta tolong kepadaku.., aku sebagai ibu benar-benar tak bisa melakukan apa-apa ketika itu. Sang ular perlahan menyelam mendekati anak ku Gentar. Gentar sendiri naik turun di genangan air itu karena memang dia tak bisa berenang.
Aku tak tau apa yang di pikirkan Ben, tiba-tiba saja berani menerjunkan dirinya ke dalam genangan air itu. Ben dan Ular sekarang seolah berlomba mendekati Gentar. Aku cemas menyaksikan situasi itu. layaknya film action jantungku pun berdetak kencang.
Mulutku berkomat-kamit mengucapkan mantra kepada Neptunus agar kiraanya Ben dapat menyelamatkan saudaranya. Ben pun sekuat tenaga mengayuh kakinya di dalam genangan air itu. Akhirnya Ben sampai lebih dulu mendekati Gentar.., tapi situasi ini belum berakhir. Ben dengan sisa-sisa tenaganya harus mendorong Gentar keluar dari kolam air itu. Air mataku jatuh ketika kurang dari satu hasta lagi Ular itu mendekati Ben dan Gentar.., ketika sang Ular hendak berancang-ancang menyemburkan bisanya kearah mereka berdua. Tiba-tiba saja secepat kilat Mbah Murno muncul dengan cengkramannya yang tajam menghunus sang ular tersebut. Mbah Murno membawa Ular tersebut terbang mengitari langit nan biru itu. Dua doa ku terkabul sekaligus ketika itu. Yang pertama kedua anak ku selamat dari cengkraman sang Ular, dan yang kedua aku dapat langsung melihat mbah Murno yang menjadi legenda itu.
Setelah kejadian itu, aku berlari mendekati anak-anak ku. memeluk mereka berdua dengan perasaan yang tak bisa aku lukiskan. Ben dengan nafas yang terengah-engah hanya diam membisu dalam pelukan ku. Semua mahluk sekarang memuji keberanian Ben. Mengucapkan selamat kepada Ben dengan senyuman yang ramah tamah. Aku senang sekali mendengarnya, karna mulai saat ini Ben ku tak lagi menjadi bahan ejekan di lingkungan kami.
“Anak ku yang terpisah…!!” tiba-tiba suara itu terdengar di antara kerumunan semua mahkluk yang ada di sana. Aku dan Ben terkejut bukan kepalang mendengar pengkuan itu dari sebuah pasangan yang mukanya mirip sekali dengan Ben. Ben memandangi pasangan itu dengan ekspersi setengah shock.., merasa tak percaya jika ada mahluk yang mirip sekali dengan dirinya.
“Jangan panik…!!” pekikan mbah Murno tedengar dari atas langit mencoba mendekati kami. Mbah Murno turun menukik dengan sayap-sayapnya yang lebar ke arah kami.
“Anak ku…, kedua mahluk ini adalah orang tuamu.., kamu tak usah takut..” kata Mbah Murno berkata kepada Ben. Guratan-guratan wajah mbah Murno seakan tercermin dari pengalaman-pengalaman spiritualnya. “Kamu harus berterima kasih dengan Ibumu itu” mbah Murno menunjuk kearah ku. “karna beliau begitu tulus merawatmu sejak kamu kecil, begitu kuat dengan makian-makian yang pernah dia dapat”. Kata mbah Murno melanjutkan lagi.
“Tapi kenapa bisa begini cerita hidupku mbah…!!” Ben menangis memeluk mbah Murno. Aku tau Ben tak bisa menerima kejadian ini begitu saja. Aku pun terisak tanggis ketika itu. sebuah jawaban yang dari dulu tak pernah terungkapkan.
“Apa pun cobaan yang kau hadapi..,Neptunus bekerja dengan cara yang misterius anak ku…, berterima kasihlah kepadaNya karna Neptunus telah menemukan jalan hidupmu yang semestinya..” kata mbah Murno diselah-selah tangisan Ben.
“Ibu…!!”. Ben memeluk Ibu kandungnya dengan air mata yang mengalir di kedua pipinya. Aku tak kuasa melihatnya. Tapi harus ku tegarkan hatiku. Semua mahluk tak terkecuali meneteskan air matanya di tempat itu.
Satu keluarga yang sempat terpisah kini bersatu kembali. Kedua orang tua Ben memeluknya dengan prasaan kasih yang teramat sangat.
“Ibu…!!” Ben kini menangis dalam pelukkan ku. Semua anak-anak ku pun ikut memeluk Ben yang pemberani. Walau berat untuk melepaskannya, tapi aku harus merelakan Ben pergi menemui jalan hidupnya sekarang.
“Terima kasih Bu untuk semua kasih yang pernah Ibu berikan pada Ben. Ben sekarang punya dua Ibu…, Ben takkan lupakan Ibu untuk selamanya…” Ben kembali terisak tangis dalam peluk ku.
“Ya..Ben…, semoga Ben bisa bahagia dengan keluarga Ben yang baru ya…” aku memberikan Ben sedikit semangat.
“Ben…, ayo.. sudah saatnya kita pergi.., perjalanan kita masih jauh nak..” Ibu kandung Ben berkata sambil tersenyum meminta Ben merelakan perpisahan ini.
Tatapan mata Ben masih sayu…, matanya merah, langkahnya gontai melangkah seakan berat untuk pergi dari ku. Semua keluargaku melambaikan tangan kepada Ben mengiringi kepergiannya.
Dengan pelan Ben dan keluarganya menyusuri aliran air yang tegenang itu. semakin lama-semakin mengecil dan hilang tertelan hulu sungai itu.
“Selamat tinggal Ben…., semoga Neptunus bisa mempertemukan kita kembali…” kata batin ku di dalam hati.
“Kamu harus kuat nak..!!, ini adalah jalan yang terbaik bagi Ben yang telah diatur oleh Neptunus…” suara mbah Murno bias terdengar di telingga ku. “Ya…,mbah… terima kasih…” aku menjawabnya.
Mbah Murno terbang melayang membelah Langit yang sembentar lagi senja…, matanya tajam mengawasi setiap tingkah laku semua mahluk yang ada di bawahnya. Bagi ku mbah Murno bukan sekedar burung Elang biasa, tapi utusan Neptunus yang bijaksana.
“Terima kasih Neptunus.., terima kasih mbah Murno.., terima kasih Ben…, karna kalian pernah singgah di hati ini. Aku bahagia saat ini, karna mulai sekarang aku tau bagaimana memaknai hidup yang hanya sementara ini…” Aku dengan yakin langkah kan kaki ku menuju rumah peristirahatan ku itu.
****
“Ayah…, tadi sore aku liat sepasang bebek dan satu anaknya mencari makan di aliran sungai di seberang rumah kita…, willy yakin itu telor bebek yang kemarin willy letakan di kandang ayam Om Harmad…, dan sepertinya telur bebek itu sudah menetas Yah…!!” ekspresi bocah kecil itu meneriaki Ayahnya yang sedang mencari rumput untuk pakan sapinya di belakang rumah yang sederhana di sebuah desa yang ramah tamah. 

_End_
03Juni09

Tidak ada komentar:

Posting Komentar