Rabu, 10 Juni 2009

kartini Dialah Ibuku


Di umurnya yang hampir genap 46 tahun beliau masih bergelut dengan jarum mesin dan benang jahit. Wajahnya sudah nampak berkerut dengan rambut panjang yang jarang terurus. Di atas mesin jahit itu dengan semangat membabi buta beliau terus mencari nafkah untuk kehidupan yang lebih baik katanya. Berapa kali beliau mengungkapkan itu kepadaku tapi tak terlalu ku gubris, bagiku ini adalah jalan yang terbaik yang telah Tuhan berikan untuk aku dan ibuku. 

Ya,mau gimana lagi, sosok suami yang seharusnya mendampinginya kini telah pergi demi cinta seorang pelacur. Kedua anaknya pun kini tak terlalu perduli dengan keadanya. Tinggallah aku dan dirinya menjalani hidup yang mungkin kelak bisa berubah. Mungkin ?

Aku sendiri pun tak bisa berbuat banyak dengan tongkat di kedua bahu dikiri dan kanan ku. Tapi setidaknya ada aku yang mendampingi beliau dengan semua keluh kesahnya. Ya, hanya aku yang tau rasa sakitnya yang terus menderu diselah-selah tulang sendinya. Penyakit rematiknya kini mulai menjadi-jadi ketika malam tiba, aku benar-benar tak bisa berbuat banyak. Terkadang keluhannya itu mencabik-cabik hati ku ini. Aku hanya bisa menangis di dalam hati. Sosok wanita terkuat yang pernah aku kenal kini harus mengelu karna penyakit Rematik yang tak kunjung sembuh. Aku hanya bisa membantunya mengosokkan param kocok dikedua kakinya berharap bisa sedikit mengurangi rasa sakit yang dialaminya. Sambil menyelami kepahitan hati yang tergambar dari wajahnya yang mulai lelah menjalani hidup yang semakin hari kian menyiksa batin dan jiwanya. 

Pagi itu setelah sarapan, aku mengintipnya dari gerai jendela ruang tengah. Matanya fokus dengan apa yang ia kerjakan. Tapi aku tau otaknya tak bisa diam saja akan satu hal. Ada banyak bayang-bayang menggrogoti urat syarafnya. Pikirannya bercabang-cabang seperti akar pohon yang menjalar kesana kemari tak mungkin untuk bersatu. Pemersalahan yang tak kunjung usai, mulai dengan hutang-piutang yang harus di bayar di bawah jatuh tempo, sewa rumah yang sebentar lagi akan habis dan beralih kepada obat-obatan yang harus diambil di rumah sakit itu besok pagi. 

Ibuku sayang Ibuku yang malang, mengapa nasib kita tak pernah kunjung berubah dari waktu ke waktu, Tuhan sepertinya tak pernah jemu-jemu memberikan cobaan buat kita. Dalam bentuk kemiskinan, penyakit dan derita-derita hidup yang lainnya. “Apa salah kita kepada Tuhan bu…, sehingga penderitaan ini terus saja berlanjut dari hari-kehari. Mana jalan Tuhan yang pernah Ia janjikan di dalam kitab suci-Nya itu!!”. Aku mengelu ketika sayur lode itu masuk kedalam mulutku. 

Setelah menyelesaikan semuanya, aku bersiap menyarung sepatuku. Hari ini aku berencana untuk mencari kerja lagi. Biar pun aku tau tak ada yang bisa menerima aku bekerja dengan keadaan fisik ku ini. Tapi aku tak putus harapan. Aku ingat dulu guruku pernah bercerita tentang kesabaran seorang hamba yang terus di uji. Dan berakhir dengan sukses yang Ia peroleh, hanya itu yang bisa memacu adrenalin smangatku untuk menjadi yang lebih baik. Ibuku hanya memberikan smangat dan Doa untuk ku. Walau aku tau dadanya begitu perih tapi Beliau tak bisa berkata banyak. Setelah ku cium telapak tangan kanannya dengan perlahan kaki-kaki ku yang tak bertenaga ini ku langkahkan dengan semangat bara api. 

Aku terlahir bukan sebagai anak yang cacat, tapi 1 tahun yang lalu dokter mendiaknosaku terinfeksi suatu virus yang mengrogoti tulang belakangku dan menyebabkan aku lumpuh. Walau pun agak merepotkan dengan tongkat-tongkat di kedua bahuku ini, tapi mau tak mau aku sangat membutuhkanya untuk berjalan. Entah sudah berapa banyak harta Ibuku habis terjual untuk biaya pengobatan ku ini. Yang pasti aku tak mau hanya diam di rumah dan mengunggu malaikat Izroil mencabut nyawaku. Aku tak mau jika itu harus terjadi..!!. cukup sudah masa berkabung untuk diriku. Dan hari ini, hari ke 5 aku mulai kembali menata kehidupanku yang tragis ini. 

Dulu aku pernah bekerja diperusahaan Telekomunikasi seluler yang cukup bonafit di kota ini. Tapi sayang “untung tak dapat di raih, malang tak dapat di tolak. Aku di PHK karna keadaan ku tak menunjang lagi untuk meningkatkan laba perusaan itu. dan sepertinya teman-teman seperjuanganku juga tak bisa berbuat banyak untuk menolong aku bertahan diperusahaan itu. kandas lah sudah semua harapan dan mimpi Indahku. Kehilangan semua peluang dan kebebasan melangkah sangat mencabik hati ini. Tapi mau bagaimana lagi, takdirku berkata lain kepadaku. 

Dalam setiap doa sembahyangku, aku tak pernah luput untuk kiranya Tuhan segera mencabut penyakitku ini. Dan berharap bisa kembali sehat seperti sedia kala agar aku bisa mensosialisasikan janjiku kepada Ibuku dulu untuk memberangkat kan Dirinya menunaikan Ibadah Haji. Tapi sepertinya Tuhan belum berminat mengabulkan doa ku itu. Dan aku hanya bisa bersabar dan ikhlas dalam kabut derita ini, setidaknya itulah kata ibuku kepadaku. 

Langkah ku mulai gontai, perutku mulai lapar dan haus, petunjuk waktu di pergelangn tanganku menunjukkan pukul 4 sore, aku harus kembali kerumah. Aku tak mau Ibuku berfikiran yang macam-macam. Aku tau pikiran orang tua jauh sepuluh langkah di depan kita. Makanya aku putuskan untuk segerah pulang kerumah. Beberapa kantor yang telah aku masuki menolak lamaranku. Ibuku pasti sedih jika mendengar hal ini. Air mataku menetes dengan sendirinya di tengah dentuman bunyi tongkat yang menghujam bumi ini. “Maafkan aku Ibu”, air mataku masih terus menetes pilu. 

Sebenarnya aku ingin memaki Tuhan di kala itu. tapi rasanya mulutku tak sanggup untuk berucap sesuatu kepadaNya. Dengan cucuran keringat dan air mata. Sayu aku memandang kedepan dengan wajah Ibuku yang menjadi smangat hidupku. Batinku masih bercokol dengan rasa perih yang teramat sangat. “Oh Tuhan tolong aku dan Ibuku agar kiranya bisa kuat dari beban berat ini”. Batin ku mejerit.

Pukul 4.30 keadaan didepan rumahku di penuhi orang-orang yang tak pernah kulihat. Aku tak bisa menebaknya. Seribu perasaan menyerumput di hati ini. Dengan sisa-sisa tenaga yang aku punya, aku mempercepat langkah kakiku menuju rumah tua itu. Di depan teras samar aku melihat Pak RT sedang mengobrol dengan seseorang yang tak aku kenal. Para tetangga pun ikut hadir disana. Tiba-tiba saja ada perasaan takut menghinggapi pikiranku. “Jangan-jangan Ibu”. aku semakin mempercepat langkahku. 

“ Yang sabar ya Nak” Pak Rt langsung memeluk diriku ketika aku sampai di teras rumah itu. 

“Ada apa ini pak, Ibuku mana!!!” aku berteriak. 

“Ibumu tadi siang di bawah kerumah sakit karna serangan Jantung” Pak Rt terus memeluk ku erat dan tak bisa aku lepaskan dari tubuhku. 

“Tidak mungkin pak, tadi pagi Ibuku masih sehat, bapak becanda kan!!” aku kembali berteriak dan mencoba melepaskan diri dari pelukannya. 

“Benar nak, bapak ndak bohong, sekarang kamu istirahat dulu sebentar lagi kita kerumah sakit bersama-sama. Pak Rt membujuk ku. 

“Bapak gila!!!, bagaimana saja bisa istirahat kalo Ibu saya ada di rumah sakit…!!, aku mau kesana sekarang!!!, lepaskan Aku!!! Aku merontak dalam pelukkan itu.

“Ya sudah kamu tenang dulu!!, jangan panik gitu kita pasti kesana koq” kembali Pak Rt menghiburku. Dan akhirnya kami berangkat menuju Rumah sakit itu.

Selama di perjalanan pikiran ku tak stabil, Aku tak mau kehilangan Ibuku saat ini. Jika Ibu ku mengginggal aku orang pertama yang akan menyusul dirinya. Hanya itu alibi yang menonjol dalam pikiranku. 

“Nak Danu, kamu jangan sedih. Ibumu baik-baik saja disana” suara Pak Rt mengagetkan aku dari lamunan yang panjang. Aku hanya diam dan menatap keluar jendela mobil itu. Jarum-jarum dari langit tumpah ruah kejalan seakan menambah peluh di dada ini. Kuhapus embun yang menempel di jendela mobil itu dengan jari-jemariku yang sedikit kaku. 

“Ya Tuhan, Tolong jangan kau Kau bawa Ibu ku sekarang, aku masih belum sanggup hidup tanpanya, tolong Tuhan jangan dulu” aku berdoa di dalam hati.
Jarum-jarum dari langit itu masih deras mengujam bumi ketika aku dan rombongan para tetanggaku tiba di pelataran parkir Rumah sakit itu. kaki ku yang sedikit kram karna udaranya yang dingin tak terlalu ku keluh kan. Otak ku hanya fokus pada keadaan ibuku. Aku melaju dengan perlahan tertatih-tatih menaiki tangga Rumah sakit itu. Melewati lorong-lorong yang lumayan sempit dan tiba di kamar 403 tempat Ibuku terbaring dengan infus di pegelangan tangan kanannya. 

“Ibu!!!” aku berteriak dengan air mata yang jatuh di kedua pipiku. Aku memeluk Beliau dengan erat. Aku tak mau kehilangan Beliau saat ini. Kembali aku menangis memeluk dirinya. 

“Udah Nak, Ibu mu baik-baik saja, Beliau cuma Istirahat sebentar, dokter menyuntiknya dengan obat penenang agar Beliau cepat sembuh” tante Butet menghiburku. 

Aku hanya diam, tapi perasaan ku kini mulai agak tenang. Tante Butet mengajak aku untuk mengobrol keluar ruangan, sepertinya Beliau akan membicakan hal yang penting dengan ku. Tante Butet sudah seperti keluarga ku sendiri meski Beliau hanya tetangga sebelah rumah ku, Beliau benar-benar baik kepada keluarga kami. 

“Tadi siang Ibu Yuli datang menagih utang kerumahmu, Ibu Yuli mengancam jika tidak di lunasi besok pagi, Ibumu akan di laporkan ke polisi, makanya mungkin Ibumu shock mendengar hal tersebut. Tapi kamu jangan khawatir, utang Ibumu kepada Ibu Yuli sudah tante lunasi”. tante butet memandang jauh ke dalam mataku. Aku kembali meneteskan air mata, perasaan campur aduk di hati ini. Aku benar-banar tak bisa berbuat banyak untuk membahagiakan Ibuku. Aku memeluk tante butet dengan air mata membasahi punggung bajunya.

“Makasih banyak tante, tante udah terlalu baik kepada kami. Bagaimana aku harus membalas kebaikan ini,” aku masih menangis dalam pelukannya.
“Jangan kau pikirkan dulu soal itu, yang penting kamu rawat dulu Ibumu disini, dan kalau bisa hubungi semua saudaramu, mungkin mereka bisa sedikit membantu untuk biaya Rumah sakit ini, kamu ngerti kan ?” suara tante Butet samar di telinggaku. Aku hanya menganguk kan kepala saja. 



Pukul 03.35menit aku duduk di balkon ruang tunggu untuk pasien. Dari semalam mataku tak mau terpejam, pikiranku kusut, dan perutku terasa lapar tapi tak nafsu makan. Pikiran tentang biaya Rumah sakit menghatui segenap laraku. Aku kembali terpuruk dalam keadaan ini. Bagaimana aku bisa menghubungi saudara-saudaraku seperti yang tante Butet katakan, kalo nomor telponnya saja aku tak punya. Ahh bangsat!!! Sepertinya aku benar-benar sendiri hidup di dunia ini!! aku merasa kesal. Kaki ku sudah kram sejak dari semalam tapi masih tak ku pedulikan. 

Pokoknya aku harus cari cara agar bisa melunasi biaya Rumah sakit ini nanti, aku ingat dulu ibuku tak pernah menyerah dalam mengahadapi cobaan hidup ini. Aku belajar banyak darinya. Bayangan ku masih melekat tajam bagaimana Ibuku dengan tertatih-tatih bangun di tengah malam membuat adonan kue untuk di titipkan ke warung sebelah dengan mengharapakan keuntungan 50 rupiah perbuahnya, sesak dada ini jika mengingat hal itu. kadang adonan kue itu terbengkalai karna jahitannya yang lumayan banyak. Ibu ku benar-benar Wanita yang Hebat dan begitu malang Nasibnya. Air mataku jatuh kembali di kedua pipi ku. 

Beliau juga pernah tinggal di rumah kostan yang sempit seukuran 2x1,5 meter selama satu bulan karna harus menghindari hutang yang belum sanggup ia bayar.., aku menyebut itu peti kuburan dari pada kamar!! ya, sedangkan saudaraku hanya bisa memaki dirinya dengan sebutan Ibu yang memboros!!, dasar anak durhaka!! hati ku mulai kembali tercabik jika mengingat hal itu.

Sosok mantan suaminya pun sama saja tak punya otak dengan saudaraku itu. masih gila memikirkan vagina dan payudara. Anjing kalian semua!!!.
Subuh itu aku makin terpuruk, tongkat di kedua sisi tubuhku ini benar-benar jadi penghalang, “Ya.Tuhan, begitu berat cobaan yang kau berikan ini kepada aku dan Ibuku.., tolong Kau berikan sedikit sinarmu dari atas sana agar aku bisa sedikit berfikir tentang hari esok yang mungkin cerah buat kami..” aku mengakhiri sholat ku dengan berdoa itu kepada Tuhan yang katanya Maha Pemurah dan Maha Pengasih. Amin. 

Suara tante Butet mengagetkan aku ketika aku terlelap di kursi branda disebelah ranjang Ibuku terbaring. Pukul 07.05 tante Butet sudah menjenguk aku dan Ibuku dengan membawakan sedikit makanan ringan untuk ku mengisi perut yang memang sangat lapar. Ibuku masih belum sadar dari alam abstraknya. Dengan gontai aku menuju ke kamar mandi umun dan sedikit membasahi wajahku yang tampak kusut masai. Aku harus berfikir bagaimana cara memdapatkan dana untuk membayar biaya Rumah sakit ini dengan atau tanpa bantuan dari saudara-saudaraku yang durhaka itu. Kembali aku duduk di kursi pengunjung Rumah sakit itu dangan bekal makanan yang tante Butet bawakan tadi sebari berfikir dan berfikir. 

Tiba-tiba ada yang menggigit di dalam kantong celanaku. Handphone bututku berteriak untuk segera diangkat. Sebuah nomor asing yang tak ku kenal terpampang jelas di layar mungil itu. 

“Halo!! Bisa bicara dengan saudara Danu Artha” sosok suara wanita di ujung telpon menyebut namaku.

“Ya, saya sendiri, maaf anda siapa” aku sedikit menggali informasi.

“Saya Gendhis dari majalah Wanita, maaf harus menggangu anda sepagi ini” suara itu setengah menyalakan diri.

“Majalah Wanita, hmm, ada yang bisa saya bantu mbak” aku sedikit berfikir.

“Ya, Saya sudah baca cerpen anda yang berjudul “Kartini Dialah Ibuku”, dan saya benar-benar tertarik dengan isi cerpern tersebut. Maka dari itu saya selaku pengasuh Rubik majalah ini akan memuat tulisan anda di majalah kami. Apakah anda setuju…??” suara wanita itu menghujam sisi lain dari hati ku. Aku diam dan hampir meneteskan air mata. 

“Haloo, saudara Danu, ada masih disana ?” suara itu membuyarkan lamunanku. 

“Ya mbak, saya setuju sekali, terima kasih sudah mau menerima tulisan saya itu” aku memahan air mataku yang hampir pecah. 

“Kalo begitu, bisa saya minta alamat nomor Rekening anda, kami akan berikan sedikit imbalan untuk anda” wanita itu sedikit tertawa. 

“Ya, mbak segera saya kirimkan nanti, terima kasih” tangis ku pecah saat itu juga”. Haru dan mencabik hati. 

“Oya, sebenarnya kami sangat membutuhkan orang-orang yang punya imajinasi seperti anda untuk bergabung dengan majalah kami, apakah anda berminat ??” suara wanita itu semakin renyah terdengar.

“Alhamdulliah, saya sekarang memang sedang butuh apresiasi mbak, saya berminat sekali. Tapi apakah keadaan fisik saya tak mengahalangi untuk bergabung di majalah mbak..” dengan terseduh aku mengeluh kepada Beliau.
“Kami tak butuh gaya, tapi kami butuh Kreasi dan imajinasi, apakah anda senang mendengarnya ?” kembali dia tertawa kecil.

“Allah hu akbar!!!, terima kasih mbak saya senang mendengar hal itu” 

“Ya sudah jam 10 saya tunggu anda di kantor saya di jalan Penjahitan No.35 menteng jakpus. Ingat jangan terlambat,saya benci orang yang tak sadar diri” wanita itu sedikit mengultimatum ku.

“Ya mbak, saya akan datang 30 menit sebelum janji itu. terima kasih”. Kedua tongkatku seakan jatuh sediri tanpa ada yang menyentuhnya. Aku tau itu adalah malaikat yang Tuhan kirim kan untuk ku. Aku sujud syukur di ruang tunggu pasein itu dengan air mata berderaian. Semua orang yang lewat menandangiku antara Iba dan aneh, aku tak perduli. Tangisku kembali pecah di dalam pelukan tante butet setelah Beliau ku ceritaan kejadian yang baru ku alami itu. 

Tante butet senang bukan kepalang mendengarya, dan Beliau yakin jika Ibuku mendengar hal ini juga akan bahagia sekali. Mulai saat itu kepercayaanku mulai tumbuh kembali, setidaknya aku bisa membayar biaya Rumah sakit ini dan semua hutang-hutang ibu ku dengan gaji yang nanti aku peroleh. Terima kasih Ya..Allah.., doaku terkabulkan juga. 

Kini dua minggu kemudian Ibuku sudah kembali kerumah kontrakkan kami. Tubuhnya masih lemas tapi semangat hidupnya masih bisa aku rasakan dari pancaran kedua matanya, seperti semangat hidupku yang berasal dari jantungnya. Aku menyalami kedua tangannya sebelum berangkat menuju dunia ku yang baru. Dunia untuk orang-orang yang tak pernah patah semangat seperti Ibuku yang sosoknya menyerupai sosok wanita terkuat yang pernah ada, dan akan tetap harum namanya seperti Kartini, karna Dialah Ibuku. 
I Love U Mom…



_End_

10juni09
Iwansteep

Tidak ada komentar:

Posting Komentar